Rabu, 02 April 2014

Kapitan Pattimura




Kapitan Pattimura (Saparua, 1783 - Ambon, 16 Desember 1817), Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura lahir di Desa Haria, Pulau Saparua pada tanggal 8 Juni 1783. Thomas Matulessy adalah seorang kesatria keturunan dari keluarga besar Matulessia (Matulessy) yang tidak lain masih bersaudara dengan raja Maluku(kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Raja, oleh karena pedagang Arab lebih dulu menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau Maluku dan mereka mengenal Maluku sebagai Jaziratul Mulk yang berarti Kepulauan Raja-Raja). Ia yang selama ini dikenal sebagai seorang Kristen, ternyata adalah seorang muslim. Karena seluruh keturunan Ambon yang bermarga Matulessy adalah muslim.
Sebab-sebab pecahnya perang melawan Belanda adalah karena para misionaris, yang didukung dan dilindungi oleh penjajah Belanda, menyebarkan agamanya kepada rakyat Maluku yang notabene sudah beragama yakni Islam. Karena tingkah laku para misionaris menjadi keterlaluan yakni dengan menggunakan kekuatan militer Belanda yang juga bertujuan memperbudak rakyat Maluku, maka Pattimura dan para pembesar di Maluku merasa harus bertindak.Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Thomas Matulessy mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Thomas Matulessy dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia Pahlawan Nasional Indonesia.

Senin, 27 Januari 2014

Dalil-dalil dalam konsep multikultur


Multikuktur merupakan konsep yang paling penting dalam masyarakat Indonesia karena masyarakat Indonesia yang beragam. Jadi dengan konsep multikultur tersebut diharapkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang damai dan tidak menjadi konflik karena perbedaan yang ada dalam masyarakat. Dengan menerapkan konsep multikultur dalam masyarakat diharapkan mereka dapat mengerti tentang apa arti dari keberagaman dan hidup berdampingan dalkam perbedaan. untuk pendidikan multikultur dapat dilakukan disekolah ataupum sosialisasi di daerah-daerah rawan konflik. Dalil-dalil dalam konsep multikultur tersebut antara lain:

Keberagaman adalah sunatullah
Dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam ini keberagaman adalah hal yang lumrah dan hal ini merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan sunatullah yang arus dipertahankan dan masyarakat Indonesia harus dapat hidup bersama dalam perbedaan yang menjadikan ciri khas Indonesia yang tidak ada dinegara lain.

 Keberagaman dapat memicu konflik
Dalam keberagaman tersebut banyak rakyat Indonesia yang hidup damai tetapi tidak sedikit pula yang tidak bisa hidup bersama yang menyebabkan konflik. Konflik-konflik tersebut dikarenakan berbagai macam seperti konflik antar agama, antar suku, dan ada pula karena konflik perebutan wilayah yang sebenarnya tidak patut untuk dijadikan konflik. Hal-hal demikian memang lumrah terjadi dalam masyarakat yang beranekaragam.

Dalam keberagaman harus ada komunikasi yang baik
Untuk menghindari konflik yang tterjadi akibat keberagaman tersebut masyarakat harus memiliki komunikasi yang baik dengan masyarakat lain. Dengan komunikasi yang baik tersebut memang memiliki andil yang sangat baik untuk menumbuhkan masyakarat yang damai dan tentram tanpa memandang perbedaan dengan menjunjung pancasila yang menjadi pedoman hidup masyarakat.

Toleransi dalam multikultur
Sikap toleran dalam multikultur sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena dengan sikap ini masyarakat akan semakin menghargai perbedaan dan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat akan berkurang bahkan akan menghilang karena sikap toleransi tersebut.

Perlunya manajemen konflik
Manajemen konflik dalam multikultur sangat penting karena dengan hal tersebut konflik yang ada dalam masyarakat akan dapat diminimalisir, karena dengan manajemen konflik tersebut semua konflik yang ada dalam masyarakat dapat dihentikan dengan jalan yang damai tidak perlu dengan kekerasan atau perang antar suku atau antar agama. Dan selain itu dengan manajemen konflik tersebut konflik yang ada dalam masyarakat juga dapat dipantau dan dapat dihentikan sebelum terjadi konflik.

Dalam manajemen konflik perlunya customize design
Customize design dalam manajemen konflik sangat perlu, karena dengan customize design merupakan rencana yang diperlukan dalam manajemen konflik. Manajemen konflik tanpa customize design tidak dapat disebut dengan manajemen konflik karena customize design merupakan renacana yang dilakukan untuk melakukan manajemen konflik, jadi dapat dibilang customize design merupakan isi dan nanajemen konflik merupakan cover.

Perlunya sosialisasi budaya
Dengan sosialisasi budaya diharapkan masyarakat mengerti arti pentingnya kebersamaan dalam masyarakat dan dapat mengerti tentang arti pentingnya menjaga kedamaian dengan masyarakat yang beranekaragam.

Konsep Pendidikan Multikultural


A. Pengertian pendidikan Multikultural
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar  didunia, kebenaran dari pernyataan ini  dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan  pendidikan  sebagai  salah  satu  sarana  startegis  dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untukmembangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi  dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatankeragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. (Tilaar: 2003). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini  yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung diantara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua,  pendidikan  multikultural  memberikan  secerah  harapan  dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi  akhir-akhir ini.  Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi  nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun  aspeknya  dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak  menjadikan semua  manusia sebagai  manusia yang bermodel sama,  berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini,  lembaga  pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggiberlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua  orang tahu,  bahwa pendidikan  yang  sebenarnya  bagi  bangsa  Indonesia  bukanlah  pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang  sering  dikenal  dengan  nama  kecerdasan  ganda  (multiple intelligence).
Keempat,  pendidikan  multikultural  sebagai  resistensi  fanatisme  yang mengarah  pada  berbagai  jenis  kekerasan.  Kekersan  muncul  ketika  saluran kedamaian  sudah  tidak  ada  lagi.  Kekerasan  tersebut  sebagai  akibat  dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini  juga  berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum,ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pertimbangan-pertimbangan itulah  yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran,dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. (Tilaar: 2004: 67). Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon  terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain  pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah,  prestasi dan perhatian terhadap  orang-orang non eropa. (Ainurrafiq: 2003:24). Pada  konteks  Indonesia,  perbincangan  tentang  konsep  pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya  rezim  otoriter militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya  membawa  berkah  bagi  bangsa  kita  namun  juga  memberi  peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu,  dirasakan kita perlu menerapkan  paradigma  pendidikan  multikultural  untuk  menangkal  semangat primordialisme.(Yaqin: 2005: 56, Thoha: 2005: 134). Paradigma pendidikan multikultural dalam konteks ini  memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes politik,  sosial,  ekonomi,  dan  intelektual  yang  mendorong  kemunculannya. (Jamaluddin: 2005: 67). James Banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain”, yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu.  Kedua, the  knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik siswa yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial.
Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Menurut  Tilaar  (2004:  59),  pendidikan  multikulturalisme  biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1.      Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2.      Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3.      Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek  perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4.      Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dalam konteks  ini  dapat  dikatakan,  tujuan  utama  dari  pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap  penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting  dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi  juga  untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. (Fajar: 2005: 88).

B. Kondisi Masyarakat
Ada pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup. Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik moral etis  bahkan teologis.  Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat tradisional baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan, semuanya diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal sampai kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat terbatas,  dan oleh sebab itu  pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan yang tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya masyarakat industri  pada abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah gelombang modernisasi yang pertama.(Suyanto: 2000).Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa. Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun dengan  demikian  munculnya  gelombang  modernitas  kedua,  kepastian  yang dinikmati oleh manusia menghilang dan secara  simultan  lahirlah  perubahan-perubahan sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakatpenuh resiko. (Kompas: 15 Februari 2007 ditulis oleh Suwignyo).
Menurut Ulrich Beck’ mengemukakan “Lima proses yang secara simultan menimpa masyarakat dunia dewasa ini, yaitu: “globalisasi, individualisme, revolusi gender, pengangguran, dan resiko  global karena krisis lingkungan  dan krisis moneter seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997”. (Suparlan: 2004). Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang menguasai ilmu  pengetahuan dan teknologi,  serta dibimbing oleh moral untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep masyarakat individualitas  yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama  tidak dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang dahsyat didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut hak-hak politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan untuk membangun suatu  masyarkat sejahtera,  dan lahirlah  apa yang disebut demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam masyarakat tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang dikenal didalam masyarakat tradisional.(Tholkhah: 2004: 8).

C. Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan
Telah kita lihat  transformasi  masyarakat tradisional  menjadi masyarakat modern, antara lain  disebabkan oleh ilmu  pengetahuan dan teknologi.  Dalam masyarakat barat, peranan ilmu pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan telah  melepaskan masyarakat tradisioanal  yang terkungkung  oleh tradisi  dan kekuasaan  Gereja  yang  koserfatif.  Perkembangan  ilmu  pengetahuan  yang menyebabkan penerapan teknologi didalam pengembangan industri telah melahirkan negara-negara industrsi pada abad ke-18. ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan tuntutan terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar pada negara-negara maju dimulai pada abad ke-19 perkembangan ilmu pengetahuan pada negara-negara tersebut telah memasuki kebijakan politik kolonial dari para penjajah.(Benny: 2005:234).  Di Indonesia telah lahir apa yang disebut dengan “politik etis” yang memaksa untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya dinegara jajahanya.
Rakyat diberi pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan benih-benih nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan kolonialisme itu sendiri. Kemajuan  pendidikan  suatu  bangsa  juga  merupakan  dasar  dari perkembangan demokrasi. Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi pencerahan kehidupan suatu bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan bersama-sama dengan kebangkitan nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam pembukaan undang-undang dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama kemerdekaan ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan bangsa antara lain  berarti membangun suatu  masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan. (Firdaus:2005:129).
Di dalam hal ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme, melainkan  peningakatan kemampuan analitis dari suatu bangsa untuk melihat perkembangan masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Dengan pendidikan, maka kelas-kelas didalam masyarakat seperti kelas penjajah yang mempunyai hak-hak istimewa yang dibedakan dengan bangsa terjajah yang tidak mempunyai hak-hak seperti hak-hak yang diberikan kepada kaum penjajah (kaum putih). Kesadaran terhadap harga diri, kesadran terhadap tradisi dan kebudayaan sendiri terbuka karena pendidikan. (Zubaedi:2005:10). Salah  satu  program yang  dapat  menyiapkan  dan  merekayasa  arah perkembangan masyarakat Indonesia untuk menjadikan masyarakat yang berbasis ilmu  pengetahuan  ialah  dengan  mengedepankan  pendidikan.  Malahan  PBB menganggap  program pendidikan  merupakan  salah  satu  dinamisator  dalam pengembangan manusia. Masyarakat industri masa depan memberi peluang yang besar  bagi  pengembangan  manusia.  Namun  dapat  menjadi  “  pembunuh” pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan menghidupi masyarakat industri tersebut. (Sumartana: 2001). Di dalam konteks nilah dipertayakan tempat dan peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam masyarakat industri masa depan.
D. Konsep Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas
Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik (reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan  guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain  masyarakat multikultural  dengan  segala  karakternya  memiliki  potensi  signifikan  untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan, itu  berarti penguatan disatu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain.(Choerul: 2006: 76). Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural. Disisi lain,  penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri.
Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain  berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara. Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini  karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang pernah dikenal sebagai  bangsa yang ramah,  sopan,  toleran,  dan sebagainya.  Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. (Muhyi: 2004:15 dan Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18 Januari 2007).
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka  dan era demokritisai kehidupan. (Tilaar: 2004:16). Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia, negara, maupun pemerintah pada era reformasi  ini,  pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara  sistematis  oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di negara ini.  Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus diupayakan agar  pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.(BSNP: 2005:17), dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan, maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.
Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini  dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
Pertama, Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan  sekaligus tujuan  pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
Kedua,  Orientasi  kebersamaan.  Kebersamaan  atau  kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak  ada  batasannya.  Tentunya  kebersamaan  yang  dibangun  disini  adalah kebersamaan yang sama  sekali  terlepas  dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.
Ketiga, Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak  pernah dijadikan orientasi oleh siapapun.  Konsistensi terhadap  sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis  dengan memunculkan sikap fanatisme  terhadap  sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
Keenam, Orientasi anti  hegemoni dan anti  dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26).
Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis  pendidikan  belaka,  tetapi  memerlukan  suatu  konsep  pemikiran  serta pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin.(Ali:2002:19),  beberapa pemikiran “ besar” dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang beriorentasi barat dan diskriminatif. Fakta- fakta  itu  menegaskan hegemoni negara dalam kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter discourse bagi visi pendidikan penguasa.
Dalam alam reformasi  hegemoni  negara  relatif  cair  dan  kebebasan berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam reformasi tidak  berkurang, mungkin lebih  kompleks karena prinsip kesetaraan kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu terlibas dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata. (Muhyi: 2004:20). Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia. Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha “politik” kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi  pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini: 2004:21).
E. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional
Setelah kita ketahui, lahir  dan berkembangnya multikulturalisme serta praktik pendidikan multikultural dibeberapa negara yang telah  melaksanakan pendidikan multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep pendidikan multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air. Pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut (Tilaar 2004) dan (Benni:2006) :
ð   “Right to Culture”dan identitas budaya lokal.
Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan tergadap  hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain  yaitu hak akan kebudayaan (right  to  culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia, memang semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas  budaya makro, yaitu budaya indonesia  yang sedang menjadi memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung.
ð  Kebudayaan indonesia yang menjadi.
Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh  sebab  itu  ditengah-tengah  maraknya  identitas  kesukuan,  sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan.  Hal tersebut  bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa indonesia.  Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik Indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia.


ð  Konsep pendidikan multikultural yang normatif.
Kita  tidak  bisa  menerima  konsep  pendidikan  multikultural  yang deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia  yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk mewujudkan  semuanya  jangan  sampai  konsep  pendidikan  multikultural normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya lokal.  Akan tetapi  konsep pendidikan multikultural normatif harus mampu  memperkuat  identiatas  suatu  suku  yang  kemudian  dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa indonesia.
ð  Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial.
Suatu  rekontruksi  sosial  artinya,  upaya  untuk  melihat  kembalai kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu  suku  bangsa  indonesia,  telah  menimbulkan  rasa  kelompok  yang berlebihan. Ini  semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
ð  Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru.
Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat pluralitas tapi  sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita gunakan lagi.  Pedagogik tradisional  membatasi proses pendidikan didalam ruangan  sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of hert)  yaitu diarahkan kepada rasa  persatuan dari bangsa Indonesia  yang pluralistiks.
ð  Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa.
TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003. (UUSPN 2003).

F. Pendidikan Nasional
Pendidikan merupakan institusi yang sangat penting bagi proses penyiapan dan peningkatan kualitas sumber  daya manusia indonesia  yang benar-benar  berkualitas. Mencerdaskan kehdupan bangsa, sebagaimana  disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, pada hakekatnya merupakan konsepsi tentang  tujuan NKRI bidang pendidikan. Tujuan negara dalam pendidikan ini rumusannya telah benar-benar selaras dengan konsepsi kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang dewasa ini sedang laris manis dibahas oleh para pakar psikologi dan pendidikan sebasgai wacana hangat dalam dun ia ilmu pengetahuan.
Mengingat rumusan tujuan negara itu amat singkat dan filosofis akademis,  maka rumusan  tujuan  negara dalam bidang pendidikan itu  barangkali dapat dikategorikan sebagai filsafat pendidikan nasional, yang sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah menjadi kesepakatan nasional. Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sesbagai penjelmaan dari amanat rakyat, telah mengesahkanya menjadi satu dari empat  tujuan  negara yang harus diusahakan atau  diimplementasikan secara  operasional dalam kegiatan pembangunan bidang pendidikan. Jika  “mencerdaskan  kehidupan bangsa” disepakati sebagai  konsensus nasional sebagai tujuan  pendidikan nasinal jangka  panjang, secara operasional tujuan itu harus dijabarkan dalam rumusan tujuan pendidikan yang lebih operasional yang akan disusun oleh pihak eksekutif, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh para penyelenggara negara dalam bidang pendidikan dalam rumusan kebijakan, program, dan kegiatan. Jika mekanisme ini dapat diterima, kesimpang siuran tentang siapa yang berhak merumuskan tujuan  pendidikan menjadi agak jelas.  Majelis
Permusyawaratan  Rakyat  (MPR)  merumuskan  filsafat  pendidikan  nasional, sedangkan tujuan pendidikan nasional yang lebih operasional disusun oleh pihak pelaksana (eksekutif), yakni presiden dan jajaranya bersama-sama dengan Dewan Perwakian Rakyat (DPR), yang dituangkan dalam ketentuan hukum yang disebut Undang-Undang tentang sistem pendidikan nasional. (Imam: 2007). Dengan demikian kita perlu merenungkan kembali untuk menetapkan agenda esensial pendidikan nasional agar dapat mengisi dan merespon abad-21 yang dimana kita kenal dengan arus globalisasi dengan tanpa keraguan dengan masa depan anak muda penerus anak bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan mereka untuk hidup dimasa depan mereka untuk hidup diabad-21 dengan berbagai unggulan kompetitif yang harus dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap percaturan dunia yang semakin global.
Saat ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat strategis, yaitu peningkatan relevansi,  efisiensi, dan kualitas pendidikan. Dari program itu memang bisa diyakinkan bahwa pendidikan nasional kita secara makro cukup menjanjikan penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki kompetitif. Untuk dapat meningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan, kita harus melakukan inovasi dunia pendidikan dalam arti yang luas secara terus menerus. Tanpa inovasi yang sistematis, mustahil sistem pendidikan nasional akan berhasil menyentuh dan memecahkan persoalan esensial yang berkaitan dengan aspek relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Agar dapat melakukan inovasi, kita juga memerlukan penelitian diberbagai bidang dan jenjang pendidikan. Penyelenggara pendidikan negara yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam menata pendidikan sebagai bagian dari perencanaan sistem nasional. Berbagai pertimbangan menjadi perhatian untuk mengembangkan sistem tersebut, sehingga dalam penyelenggaraanya sisitem tersebut menjadi acuan secara nasional yang dapat menghadapi  tantangan  global  yang  menuntut  pendidikan  dapat  berperan menyejahterakan umat manusia.
Sistem pendidikan nasional UUSPN No. 2 / 1989 pasal 3 adalah “untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia  dalam rangka  upaya mewujudkan tujuan  nasional”. Maka menurut fungsi tersebut  jelas  sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalah untuk:
1. mengembangkan kemampuan manusia Indonesia,
2. meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia,
3. meningkatkan martabat manusia Indonesia,
4. mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-manusia Indonesia oleh karena itu pendidikan di selenggarakan untuk setiap manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri, meningkatkan mutu kehidupan, meningkatkan martabat dalam rangka mencapai tujuan nasional. (UUSPN: 2003).
Upaya pencapaian tujuan  nasional tersebut  adalah untuk menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung tingggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggung jawab, berdisiplin, mnenguasai sumber informsi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan agama. Sisdiknas merupakan suatu sistem dari sistem kehidupan nasional. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan nasional merupakan subsistem dari pembangunan nasional.


G. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas Di Indonesia
Wacana pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah  upaya secara  sungguh-sungguh  dan kontinue untuk mempormulasikannya  kedalam gagasan  yang  lebih  aflikatif.  Bahkan  dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan secara signifikan.
Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (kulitnya saja). Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi masalah keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah  atau aqidah saja.
Sebaliknya pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap antikorupsi,  wajibnya  transformasi  sosial,  dan  kepadulian  terhadap  sesama. (Suharto: 2006:276). Saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras, suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat dikatakan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo, Kalimantan Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif secara dini, untuk itu menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan bagian dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa SARA. Menurut Zakiyuddin Baidhawy (1999:123), menyatakan bahwa paradigma pendidikan  multikultural  mencakup  subjek-subjek  tentang  ketidakadilan,  kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain.
Pendidikan multikultural yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa dapat masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin, kaya, priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih  dari memastikan bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai latar belakang. Menurut Franz Magnis Suseno, didalam masa kritis yang dilewati oleh bangsa Indonesia  pada akhir-akhir ini,  dengan terjadinya  berbagai gesekekan horizontal, menunjukan gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan masyarakat bangsa Indonesia  yaitu: Pertama,  pengkhianatan terhadap  sumpah pemuda tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.  Kedua,  pengkhianatan terhadap  kesepakatan untuk hidup bersama dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Terlihat gejala-gejala separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gerakan ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain dengan meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu mementingkan budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan terhadap ikrar bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu tujuan  yaitu ingin  membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk seluruh masyarakat. ( Choerul: 2005). Menurut Azumardi azra  pada level  nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi  negatif pada rekonstruksi  kebudayaan Indonesia  yang multikultural.” Berbarengan dengan otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, juga  terjadi  peningkatan fenomena  atau gejala “provinsialisme”  yang hampir tumpang  tindih  dengan “etnisitas.” Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik. (Ali: 2002:3)
G. Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi
Globalisai adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan, globalisa juga  merupakan proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi baru dan bertambahnya arus modal secara bebas. (Zaenal: 2005). Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Maka dunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi pada  semua  jenjang  pendidikan  yang  dapat  dikembangkan  menjadi  satuan pendidikan yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional  dalam menghadapi persaingan global.
Dalam menghadapi  globalisasi,  maka  penyerapan  tenaga  kerja  akan ditentukan oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Kemajuan komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak terhadap pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya  gambar-gambarfornografi diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi informasi  itu.  Hal ini  merupakan tantangan  bagi dunia pendidikan kita, yang diamana di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu  dan teknologi  disisi lain berimplikasi kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai budaya luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal.
Adapun dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi pelayanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2). Menurut Chirzin, proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat dunia menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide atau gagasan. (Sumartana: 2001:5).

Ada beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela  dikemukakan diatas. Setidaknya hal itu  bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama,  secara sempit, pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani  para peserta didik. Kedua, secara  luas,  pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangat penting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai investasi jangka panjang.