A. Pengertian pendidikan Multikultural
Indonesia adalah
merupakan salah satu negara multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun
geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah
satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan
sebagai salah satu sarana startegis
dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang
bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya
tepat dan kompatibel untukmembangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan
multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan
satu alternatif melalui penerapan strategi
dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatankeragaman yang ada
di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya,
bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. (Tilaar: 2003).
Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
Pertama,
pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini
ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong,
membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat
dalam potret kronologis bangsa ini yang
sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan
masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa,
etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu
beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak,
minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan
akulturasi yang berlangsung diantara suku-suku tersebut dengan etnis yang
datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa
adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan
multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi
dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke
bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua, pendidikan
multikultural memberikan secerah
harapan dalam mengatasi berbagai
gejolak masyarakat yang terjadi
akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural,
adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas,
pluralitas dan keragaman, apapun
aspeknya dalam masyarakat. Dengan
demikian, pendidikan multikultural yang tidak
menjadikan semua manusia
sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama,
atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga,
pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada
saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggiberlomba-lomba
menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu
menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua
orang tahu, bahwa pendidikan yang
sebenarnya bagi bangsa
Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan
pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering
dikenal dengan nama
kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Keempat, pendidikan
multikultural sebagai resistensi
fanatisme yang mengarah pada
berbagai jenis kekerasan.
Kekersan muncul ketika
saluran kedamaian sudah tidak
ada lagi. Kekerasan
tersebut sebagai akibat
dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan
secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah
masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit
juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi
etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan,
politik, hukum,ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pertimbangan-pertimbangan
itulah yang barang kali perlu dikaji dan
direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan
model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian
ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran,dan saling menghargai.
Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan,
kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. (Tilaar: 2004:
67). Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi
sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi
lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan
kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan,
sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa. (Ainurrafiq: 2003:24).
Pada konteks Indonesia,
perbincangan tentang konsep
pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim
otoriter militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era
reformasi ternyata tidak hanya
membawa berkah bagi
bangsa kita namun
juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme.
Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma
pendidikan multikultural untuk
menangkal semangat primordialisme.(Yaqin:
2005: 56, Thoha: 2005: 134). Paradigma pendidikan multikultural dalam konteks
ini memberi pelajaran kepada kita untuk
memiliki apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas
dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari
masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman
budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural
secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun
2003 sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung
tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam
sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang
tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes politik, sosial,
ekonomi, dan intelektual
yang mendorong kemunculannya. (Jamaluddin: 2005: 67). James
Banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa
dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain”, yaitu: Pertama, Content
integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran
atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa
siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara
belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragambaik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial.
Keempat, prejudice
reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode
pengajaran mereka. Menurut Tilaar (2004:
59), pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut:
1.
Tujuanya membentuk” manusia budaya”
dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2.
Materinya mengajarkan nilai-nilai
luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis
(cultural).
3.
Metodenya demokratis, yang
menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4.
Evaluasinya ditentukan pada
penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi,
dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dalam
konteks ini dapat
dikatakan, tujuan utama
dari pendidikan multikultural
adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan
yang terpenting dari strategi pendidikan
multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami
pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi
juga untuk meningkatkan kesadaran
mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. (Fajar: 2005:
88).
B. Kondisi Masyarakat
Ada pameo pada
masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah bangsa yang paling
lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri dari masyarakat
tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat yang relatif
stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup. Kehidupan
masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik moral
etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat tradisional
baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan, semuanya
diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal sampai
kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
lainnya. Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat
terbatas, dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan
sangat lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam
kehidupan yang tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini
dengan lahirnya masyarakat industri pada
abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah gelombang modernisasi yang
pertama.(Suyanto: 2000).Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat
didalam masyarakat barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier,
perkembangan industri yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua
perubahan tersebut terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa. Gelombang
modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun dengan demikian
munculnya gelombang modernitas
kedua, kepastian yang dinikmati oleh manusia menghilang dan
secara simultan lahirlah
perubahan-perubahan sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi
oleh manusia.modernisasi gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang
disebut suatu masyarakatpenuh resiko. (Kompas: 15 Februari 2007 ditulis oleh
Suwignyo).
Menurut Ulrich
Beck’ mengemukakan “Lima proses yang secara simultan menimpa masyarakat dunia
dewasa ini, yaitu: “globalisasi, individualisme, revolusi gender, pengangguran,
dan resiko global karena krisis
lingkungan dan krisis moneter seperti
yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997”. (Suparlan: 2004). Dalam
perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan yang
tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang dapat
mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk kemaslahatan
masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia. Seiring dengan perkembangan
dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep masyarakat individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang
lama tidak dapat digunakan lagi. Hal ini
disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang dahsyat didalam masyarakat
dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut hak-hak politik dari
warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan untuk membangun
suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut demokrasi cultural yang
mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam masyarakat tradisional,
perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia didalam membangun
keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang dikenal didalam
masyarakat tradisional.(Tholkhah: 2004: 8).
C. Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan
Telah kita
lihat transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, antara lain disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam masyarakat barat, peranan ilmu
pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan telah melepaskan masyarakat tradisioanal yang terkungkung oleh tradisi
dan kekuasaan Gereja yang
koserfatif. Perkembangan ilmu
pengetahuan yang menyebabkan
penerapan teknologi didalam pengembangan industri telah melahirkan negara-negara
industrsi pada abad ke-18. ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan tuntutan
terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar pada negara-negara maju
dimulai pada abad ke-19 perkembangan ilmu pengetahuan pada negara-negara
tersebut telah memasuki kebijakan politik kolonial dari para penjajah.(Benny: 2005:234). Di Indonesia telah lahir apa yang disebut
dengan “politik etis” yang memaksa untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya
dinegara jajahanya.
Rakyat diberi
pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari kungkungan
kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan benih-benih
nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan kolonialisme itu
sendiri. Kemajuan pendidikan suatu
bangsa juga merupakan
dasar dari perkembangan
demokrasi. Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi pencerahan
kehidupan suatu bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan bersama-sama
dengan kebangkitan nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam pembukaan
undang-undang dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama kemerdekaan
ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan bangsa antara
lain berarti membangun suatu masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan.
(Firdaus:2005:129).
Di dalam hal
ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme, melainkan peningakatan kemampuan analitis dari suatu
bangsa untuk melihat perkembangan masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan
suatu bangsa juga merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Dengan
pendidikan, maka kelas-kelas didalam masyarakat seperti kelas penjajah yang
mempunyai hak-hak istimewa yang dibedakan dengan bangsa terjajah yang tidak
mempunyai hak-hak seperti hak-hak yang diberikan kepada kaum penjajah (kaum putih).
Kesadaran terhadap harga diri, kesadran terhadap tradisi dan kebudayaan sendiri
terbuka karena pendidikan. (Zubaedi:2005:10). Salah satu
program yang dapat menyiapkan
dan merekayasa arah perkembangan masyarakat Indonesia untuk
menjadikan masyarakat yang berbasis ilmu
pengetahuan ialah dengan
mengedepankan pendidikan. Malahan
PBB menganggap program
pendidikan merupakan salah
satu dinamisator dalam pengembangan manusia. Masyarakat
industri masa depan memberi peluang yang besar
bagi pengembangan manusia.
Namun dapat menjadi
“ pembunuh” pengembangan manusia
apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan menghidupi masyarakat
industri tersebut. (Sumartana: 2001). Di dalam konteks nilah dipertayakan
tempat dan peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam masyarakat
industri masa depan.
D. Konsep Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas
Pendidikan dan
masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik (reciprocalrelayionship).
Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat multikultural,
disisi lain masyarakat multikultural dengan
segala karakternya memiliki
potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran
pendidikan, itu berarti penguatan disatu
sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi
lain.(Choerul: 2006: 76). Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan
memperbaiki sistem dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah
keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural. Disisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu
dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah keberhasilan
fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada
kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi
peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri.
Dalam konteks
membangun masyarakat multikultural selain
berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat
berbagai perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang
memiliki latar belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam
berbangsa dan bernegara. Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah
pembangunan karakter dan semangat kebangsaan atau nation and character building
(NCB). Dalam hal ini karakter kebangsaan
merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang pernah dikenal
sebagai bangsa yang ramah, sopan,
toleran, dan sebagainya. Sedangakan semangat kebangsaan adalah
keinginan yang amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa.
Karakter dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun
kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. (Muhyi: 2004:15 dan
Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18 Januari 2007).
Multikulturalisme
merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus
berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia
khususnya didalam era dunia terbuka dan
era demokritisai kehidupan. (Tilaar: 2004:16). Pendidikan merupakan kebutuhan
paling esensial bagi setiap manusia, negara, maupun pemerintah pada era
reformasi ini, pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan
secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang
di negara ini. Transformasi dalam dunia
pendidikan selalu harus diupayakan agar
pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam
usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh
pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.(BSNP: 2005:17), dengan
demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kehidupan
manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan, maka pendidikan
dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang akan dihadapi
oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.
Peran pendidikan
didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti didalam kaitannya dengan
falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti disiplin-disiplin ilmu
yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme,
antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini
dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya
tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar
multikulturalisme. Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara
lain meliputi:
Pertama,
Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati
yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal,
global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
Kedua, Orientasi
kebersamaan. Kebersamaan atau
kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat
yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada
kedamaian yang tidak ada batasannya.
Tentunya kebersamaan yang
dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali
terlepas dari unsur kolutif
maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang
masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain,
lingkungan, serta negara.
Ketiga,
Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi
sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya
dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan
prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Keempat,
Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari
aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku,
tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif,
dan tepat tujuan.
Kelima,
Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas
merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap
sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
Keenam,
Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni
adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua
istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh
para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena
hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap
masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26).
Dengan demikian
multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan
belaka, tetapi memerlukan
suatu konsep pemikiran
serta pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin.(Ali:2002:19), beberapa pemikiran “ besar” dalam sejarah
pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir pada situasi politik dan
kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” bersemi ditengah
dominanya model pendidikan belanda yang beriorentasi barat dan diskriminatif.
Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara dalam kebijakan
dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter discourse bagi
visi pendidikan penguasa.
Dalam alam
reformasi hegemoni negara
relatif cair dan
kebebasan berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan
kita pada alam reformasi tidak
berkurang, mungkin lebih kompleks
karena prinsip kesetaraan kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan
berbagai persoalan itu terlibas dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya,
pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata.
(Muhyi: 2004:20). Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di
indonesia. Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan
multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu,
pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian
rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas
2003, sebagai usaha “politik” kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata
menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi
pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku
pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan
sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini: 2004:21).
E. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan
Nasional
Setelah kita
ketahui, lahir dan berkembangnya
multikulturalisme serta praktik pendidikan multikultural dibeberapa negara yang
telah melaksanakan pendidikan
multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep pendidikan
multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan
kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air. Pendidikan multikultural
mempunyai dimensi sebagai berikut (Tilaar 2004) dan (Benni:2006) :
ð “Right to Culture”dan identitas budaya lokal.
Multikulturalisme
meskipun didorong oleh pengakuan tergadap
hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan
juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak
akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai
perkembangan budaya mikro di indonesia, memang semuanya itu memerlukan masa
transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan indonesia.
Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya indonesia sebagai
budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang menjadi memang harus terus
menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung.
ð Kebudayaan
indonesia yang menjadi.
Kebudayaan
indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap
identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai
yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya
antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab
itu ditengah-tengah maraknya
identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang
akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan. Hal tersebut
bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam
proses pendidikan bangsa indonesia.
Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka
perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan
dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik Indonesia
yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
ð Konsep
pendidikan multikultural yang normatif.
Kita tidak
bisa menerima konsep
pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar
mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping
pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan
indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa.
Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita
gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk mewujudkan semuanya
jangan sampai konsep
pendidikan multikultural normatif
sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya
lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif
harus mampu memperkuat identiatas
suatu suku yang
kemudian dapat menyumbangkan bagi
terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa
indonesia.
ð Pendidikan
multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial.
Suatu rekontruksi
sosial artinya, upaya
untuk melihat kembalai kehidupan sosial yang ada dewasa
ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan,
identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu suku
bangsa indonesia, telah
menimbulkan rasa kelompok
yang berlebihan. Ini semua akan
menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
ð Pendidikan
multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru.
Jelas kiranya
untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat
pluralitas tapi sekaligus diarahkan
kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional
tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik
tradisional membatasi proses pendidikan
didalam ruangan sekolah yang sarat dengan
pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia
menuntut pendidikan hati (Pedagogy of hert)
yaitu diarahkan kepada rasa persatuan
dari bangsa Indonesia yang pluralistiks.
ð Pendidikan
multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa depan serta etika
berbangsa.
TAP/MPR RI Tahun
2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa depan serta etika kehidupan
berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan
konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan
menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan
dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun
2003. (UUSPN 2003).
F. Pendidikan Nasional
Pendidikan
merupakan institusi yang sangat penting bagi proses penyiapan dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia
indonesia yang benar-benar berkualitas. Mencerdaskan kehdupan bangsa,
sebagaimana disebutkan dalam pembukaan
UUD 1945, pada hakekatnya merupakan konsepsi tentang tujuan NKRI bidang pendidikan. Tujuan negara
dalam pendidikan ini rumusannya telah benar-benar selaras dengan konsepsi
kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang dewasa ini sedang laris manis
dibahas oleh para pakar psikologi dan pendidikan sebasgai wacana hangat dalam
dun ia ilmu pengetahuan.
Mengingat
rumusan tujuan negara itu amat singkat dan filosofis akademis, maka rumusan
tujuan negara dalam bidang pendidikan
itu barangkali dapat dikategorikan
sebagai filsafat pendidikan nasional, yang sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah
menjadi kesepakatan nasional. Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sesbagai
penjelmaan dari amanat rakyat, telah mengesahkanya menjadi satu dari empat tujuan
negara yang harus diusahakan atau
diimplementasikan secara operasional
dalam kegiatan pembangunan bidang pendidikan. Jika “mencerdaskan
kehidupan bangsa” disepakati sebagai
konsensus nasional sebagai tujuan
pendidikan nasinal jangka
panjang, secara operasional tujuan itu harus dijabarkan dalam rumusan
tujuan pendidikan yang lebih operasional yang akan disusun oleh pihak
eksekutif, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh para penyelenggara
negara dalam bidang pendidikan dalam rumusan kebijakan, program, dan kegiatan.
Jika mekanisme ini dapat diterima, kesimpang siuran tentang siapa yang berhak
merumuskan tujuan pendidikan menjadi
agak jelas. Majelis
Permusyawaratan Rakyat
(MPR) merumuskan filsafat
pendidikan nasional, sedangkan
tujuan pendidikan nasional yang lebih operasional disusun oleh pihak pelaksana
(eksekutif), yakni presiden dan jajaranya bersama-sama dengan Dewan Perwakian
Rakyat (DPR), yang dituangkan dalam ketentuan hukum yang disebut Undang-Undang
tentang sistem pendidikan nasional. (Imam: 2007). Dengan demikian kita perlu
merenungkan kembali untuk menetapkan agenda esensial pendidikan nasional agar
dapat mengisi dan merespon abad-21 yang dimana kita kenal dengan arus
globalisasi dengan tanpa keraguan dengan masa depan anak muda penerus anak
bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan mereka untuk hidup dimasa depan
mereka untuk hidup diabad-21 dengan berbagai unggulan kompetitif yang harus
dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap percaturan dunia yang semakin
global.
Saat ini
pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat strategis,
yaitu peningkatan relevansi, efisiensi,
dan kualitas pendidikan. Dari program itu memang bisa diyakinkan bahwa pendidikan
nasional kita secara makro cukup menjanjikan penyediaan sumber daya manusia
yang benar-benar memiliki kompetitif. Untuk dapat meningkatan relevansi, efisiensi,
dan kualitas pendidikan, kita harus melakukan inovasi dunia pendidikan dalam
arti yang luas secara terus menerus. Tanpa inovasi yang sistematis, mustahil sistem
pendidikan nasional akan berhasil menyentuh dan memecahkan persoalan esensial
yang berkaitan dengan aspek relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Agar
dapat melakukan inovasi, kita juga memerlukan penelitian diberbagai bidang dan
jenjang pendidikan. Penyelenggara pendidikan negara yang memiliki tanggung
jawab yang besar dalam menata pendidikan sebagai bagian dari perencanaan sistem
nasional. Berbagai pertimbangan menjadi perhatian untuk mengembangkan sistem
tersebut, sehingga dalam penyelenggaraanya sisitem tersebut menjadi acuan
secara nasional yang dapat menghadapi
tantangan global yang
menuntut pendidikan dapat
berperan menyejahterakan umat manusia.
Sistem
pendidikan nasional UUSPN No. 2 / 1989 pasal 3 adalah “untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka
upaya mewujudkan tujuan
nasional”. Maka menurut fungsi tersebut
jelas sekali bahwa pendidikan
diselenggarakan adalah untuk:
1. mengembangkan
kemampuan manusia Indonesia,
2. meningkatkan
mutu kehidupan manusia Indonesia,
3. meningkatkan
martabat manusia Indonesia,
4. mewujudkan
tujuan nasional melalui manusia-manusia Indonesia oleh karena itu pendidikan di
selenggarakan untuk setiap manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia
tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri, meningkatkan mutu kehidupan,
meningkatkan martabat dalam rangka mencapai tujuan nasional. (UUSPN: 2003).
Upaya pencapaian
tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madani,
yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung tingggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggung
jawab, berdisiplin, mnenguasai sumber informsi dalam bidang iptek dan seni,
budaya dan agama. Sisdiknas merupakan suatu sistem dari sistem kehidupan
nasional. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan nasional merupakan subsistem
dari pembangunan nasional.
G. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam
Sisdiknas Di Indonesia
Wacana
pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak
menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan
sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk mempormulasikannya kedalam gagasan yang
lebih aflikatif. Bahkan
dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural
sebagai bagian dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal
bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan secara signifikan.
Sebagai
implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan
pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum
dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi
materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat
umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara
parsial (kulitnya saja). Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada
upaya mengurusi masalah keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan
masalah surga atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja.
Sebaliknya
pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap antikorupsi, wajibnya
transformasi sosial, dan kepadulian terhadap
sesama. (Suharto: 2006:276). Saat ini konsep pendidikan multikulturalisme
yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi
terhadap perbedaan agama, ras, suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta
didik sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa saat ini belum
benar-benar steril dari ancaman konplik etnis dan agama, radikalisme agama,
separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat dikatakan serangkaian
kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus pekalongan (1995),
Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo, Kalimantan Barat (1996
dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000)
sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif secara dini, untuk itu
menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan bagian dari usaha
komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa SARA. Menurut
Zakiyuddin Baidhawy (1999:123), menyatakan bahwa paradigma pendidikan multikultural
mencakup subjek-subjek tentang
ketidakadilan, kemiskinan,
penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai
bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain.
Pendidikan multikultural
yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa dapat
masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin, kaya,
priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari memastikan bahwa peserta didik dalam
suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai latar belakang. Menurut Franz
Magnis Suseno, didalam masa kritis yang dilewati oleh bangsa Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan terjadinya berbagai gesekekan horizontal, menunjukan
gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan masyarakat bangsa
Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan terhadap sumpah pemuda tahun 1928, yaitu keinginan
untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Kedua,
pengkhianatan terhadap kesepakatan
untuk hidup bersama dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala separatisme untuk
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gerakan ini
tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain dengan
meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu mementingkan
budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan terhadap ikrar
bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu tujuan yaitu ingin
membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk seluruh masyarakat.
( Choerul: 2005). Menurut Azumardi azra
pada level nasional, berakhirnya
sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang
nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif pada rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.” Berbarengan dengan otonomisasi
dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, juga
terjadi peningkatan fenomena atau gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih
dengan “etnisitas.” Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat
menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan
juga disintegrasi politik. (Ali: 2002:3)
G. Pendidikan
Multikultural dan Tantangan Globalisasi
Globalisai
adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan jepang
yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominir dunia
dengan kekuatan, globalisa juga
merupakan proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara
dramastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak
kekuatan termasuk teknolgi baru dan bertambahnya arus modal secara bebas.
(Zaenal: 2005). Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda
dunia, Maka dunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan
globalisasi pada semua jenjang
pendidikan yang dapat
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertarap
internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah (pasal
50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga
semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan formal, baik yang
didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum
pendidikan (pasal 53 ayat1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi
memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian,
badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada
penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf
internasional dalam menghadapi
persaingan global.
Dalam
menghadapi globalisasi, maka
penyerapan tenaga kerja
akan ditentukan oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara
satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta
didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi
tertentu (pasal 61 ayat 3). Kemajuan komunikasi yang global seperti internet,
juga telah membawa dampak terhadap pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya
internet dengan mudahnya gambar-gambarfornografi
diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi informasi itu.
Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang diamana di
satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu
dan teknologi disisi lain berimplikasi
kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai budaya luar
seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal.
Adapun dalam
mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka
pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai paradigma baru
pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi pelayanan
pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan
secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2). Menurut Chirzin, proses
globalisasi dengan percepatan mengglindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem
perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan
baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat dunia menjadi sebuah kampung kecil
yang memudahkan setiap warga dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi
satu sama lain. Situasi yang demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan
dari satu tempat ketempat lain sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan
nilai-nilai budaya penerima ide atau gagasan. (Sumartana: 2001:5).
Ada beberapa
fungsi pendidikan sebagaimana tela
dikemukakan diatas. Setidaknya hal itu
bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit, pendidikan berfungsi untuk
membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani para peserta didik. Kedua, secara luas,
pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara,
pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka
jelas pendidikan sangat penting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makamur dan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan
juga Selain berfungsi sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa
juga berfungsi sebagai investasi jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar